Isu Dana Apisrasi DPR
11.30
Sepertinya memang bukan anggota dewan kalau
sepi tanpa mendapat kritikan. Kritik itu pun tak pernah mereka dengar, seperti
dalam kasus dana aspirasi DPR belakangan ini. Alih-alih mengurungkan niat,
Rapat Paripurna DPR, Selasa (23/6) justru menyepakati usulan dana aspirasi DPR
sebesar Rp11,2 triliun dalam RAPBN 2016. Dari 10 fraksi yang ada, hanya 3
Fraksi (PDIP, NasDem dan Hanura) yang menolak usulan dana aspirasi atau Program
Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) tersebut. UU No. 42 Tahun 2014 (UU MD3)
Pasal 80 huruf j, memang menyebut salah satu hak anggota DPR adalah mengusulkan
dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan (Dapil). Lewat dana
aspirasi 20 miliar setiap anggota DPR per tahun itulah, mereka bisa “berbuat
banyak” untuk memenuhi kebutuhan konstituen, pembangunan infrastruktur di
Dapil. Tetapi di sisi lain, dana aspirasi menyimpan kerawanan untuk berbagai
modus penyimpangan dan politisasi demi kepentingan sempit anggota dewan.
Berikut
beberapa alasan penolakan terhadap dana aspirasi DPR:
Dana Aspirasi rawan dikorupsi dan
dipolitisasi. Program pembangunan Dapil sarat dengan kepentingan konstituen
basis kelompok partai mereka. intimitas uang dan otoritas jabatan, memungkinkan
pula anggota DPR berkehendak untuk korupsi.
Dana
aspirasi menyuburkan calo anggaran. DPR bisa tak ubahnya menjadi calo anggaran
yang legal bagi Dapil. Daerah akan berlomba‐lomba
datang ke Jakarta untuk melobby
Dana aspirasi menyuburkan calo anggaran.
DPR bisa tak ubahnya menjadi calo anggaran yang legal bagi Dapil. Daerah akan
berlomba‐lomba datang ke Jakarta
untuk melobby anggota DPR daerah pemilihannya dalam rangka memperoleh dana
aspirasi. Peluang adanya kick back bagi anggota DPR sangat mungkin terjadi.
Dana aspirasi menghamburkan uang rakyat dan
tidak tepat sasaran. Jika satu anggota DPR mendapatkan Rp 20 miliar per tahun
dana aspirasi, maka ada sejumlah Rp 11,2 triliun per tahun uang rakyat yang
harus dihabiskan. Dan apabila dikalikan selama 4 tahun masa sisa jabatan DPR-RI
periode 2014-2019, maka ada sejumlah Rp 44,8 triliun. Itu pun kemungkinan besar
tidak tepat sasaran dan akan bertabrakan dengan Rencana Program Jangka Menengah
(RPJMN) yang telah dicanangkan Joko Widodo dalam bentuk Nawa Cita.
DPR tidak memiliki hak budget. Baik
kosntitusi maupun UU MD3 tidak mengenal adanya hak budget bagi DPR. DPR hanya
memiliki fungsi anggaran untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak
memberikan persetujuan terhadap RUU yang diajukan oleh Presiden. Jadi tidak ada
hak DPR untuk memintah jatah alokasi anggaran dana aspirasi.
Dana aspirasi memperbesar jurang kemiskinan
antar daerah. Dana aspirasi berdasarkan Dapil justru akan memperlebar antara
daerah miskin dan kayak arena anggaran hanya terpusat pada daerah‐daerah yang banyak
penduduknya (sesuai dengan proporsionalitas penentuan dapil) dibandingkan
daerah yang miskin.
Dana aspirasi bertentangan dengan azas dana
perimbangan. Dana aspirasi menambah panjang deretan dana liar ke daerah yang
tidak sesuai dengan azas dana perimbangan yakni desentralisasi, dekonsentrasi
dan tugas pembantuan, seperti diamanatkan UU No 33 tahun 2004 tentang otonomi
daerah.
Dana aspirasi mengacaukan sistem
perencanaan penganggaran dan perimbangan keuangan. Sistem perencanaan
penganggaran menggunakan pendekatan level pemerintahan mulai dari Kab/kota,
Propinsi dan Pusat. Sementara dana aspirasi mempergunakan pendekatan daerah
pemilihan yang tidak identik dengan system pemerintahan tersebut.
sumber:
http://www.trendezia.com/blogs/23/1142/alasan-menolak-dana-aspirasi-dpr
0 komentar