Isu Dana Apisrasi DPR

ALASAN MENOLAK DANA ASPIRASI DPR     Sepertinya memang bukan anggota dewan kalau sepi tanpa mendapat kritikan. Kritik itu pun tak p...



ALASAN MENOLAK DANA ASPIRASI DPR
    Sepertinya memang bukan anggota dewan kalau sepi tanpa mendapat kritikan. Kritik itu pun tak pernah mereka dengar, seperti dalam kasus dana aspirasi DPR belakangan ini. Alih-alih mengurungkan niat, Rapat Paripurna DPR, Selasa (23/6) justru menyepakati usulan dana aspirasi DPR sebesar Rp11,2 triliun dalam RAPBN 2016. Dari 10 fraksi yang ada, hanya 3 Fraksi (PDIP, NasDem dan Hanura) yang menolak usulan dana aspirasi atau Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) tersebut. UU No. 42 Tahun 2014 (UU MD3) Pasal 80 huruf j, memang menyebut salah satu hak anggota DPR adalah mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan (Dapil). Lewat dana aspirasi 20 miliar setiap anggota DPR per tahun itulah, mereka bisa “berbuat banyak” untuk memenuhi kebutuhan konstituen, pembangunan infrastruktur di Dapil. Tetapi di sisi lain, dana aspirasi menyimpan kerawanan untuk berbagai modus penyimpangan dan politisasi demi kepentingan sempit anggota dewan.
Berikut beberapa alasan penolakan terhadap dana aspirasi DPR:

    Dana Aspirasi rawan dikorupsi dan dipolitisasi. Program pembangunan Dapil sarat dengan kepentingan konstituen basis kelompok partai mereka. intimitas uang dan otoritas jabatan, memungkinkan pula anggota DPR berkehendak untuk korupsi.
Dana aspirasi menyuburkan calo anggaran. DPR bisa tak ubahnya menjadi calo anggaran yang legal bagi Dapil. Daerah akan berlombalomba datang ke Jakarta untuk melobby
    Dana aspirasi menyuburkan calo anggaran. DPR bisa tak ubahnya menjadi calo anggaran yang legal bagi Dapil. Daerah akan berlombalomba datang ke Jakarta untuk melobby anggota DPR daerah pemilihannya dalam rangka memperoleh dana aspirasi. Peluang adanya kick back bagi anggota DPR sangat mungkin terjadi.
    Dana aspirasi menghamburkan uang rakyat dan tidak tepat sasaran. Jika satu anggota DPR mendapatkan Rp 20 miliar per tahun dana aspirasi, maka ada sejumlah Rp 11,2 triliun per tahun uang rakyat yang harus dihabiskan. Dan apabila dikalikan selama 4 tahun masa sisa jabatan DPR-RI periode 2014-2019, maka ada sejumlah Rp 44,8 triliun. Itu pun kemungkinan besar tidak tepat sasaran dan akan bertabrakan dengan Rencana Program Jangka Menengah (RPJMN) yang telah dicanangkan Joko Widodo dalam bentuk Nawa Cita.
    DPR tidak memiliki hak budget. Baik kosntitusi maupun UU MD3 tidak mengenal adanya hak budget bagi DPR. DPR hanya memiliki fungsi anggaran untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap RUU yang diajukan oleh Presiden. Jadi tidak ada hak DPR untuk memintah jatah alokasi anggaran dana aspirasi.
    Dana aspirasi memperbesar jurang kemiskinan antar daerah. Dana aspirasi berdasarkan Dapil justru akan memperlebar antara daerah miskin dan kayak arena anggaran hanya terpusat pada daerahdaerah yang banyak penduduknya (sesuai dengan proporsionalitas penentuan dapil) dibandingkan daerah yang miskin.
    Dana aspirasi bertentangan dengan azas dana perimbangan. Dana aspirasi menambah panjang deretan dana liar ke daerah yang tidak sesuai dengan azas dana perimbangan yakni desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, seperti diamanatkan UU No 33 tahun 2004 tentang otonomi daerah.
    Dana aspirasi mengacaukan sistem perencanaan penganggaran dan perimbangan keuangan. Sistem perencanaan penganggaran menggunakan pendekatan level pemerintahan mulai dari Kab/kota, Propinsi dan Pusat. Sementara dana aspirasi mempergunakan pendekatan daerah pemilihan yang tidak identik dengan system pemerintahan tersebut.
sumber:
http://www.trendezia.com/blogs/23/1142/alasan-menolak-dana-aspirasi-dpr

You Might Also Like

0 komentar